“Say something , I’m giving up on you. I’ll
be the one, if you want me to. Anywhere, I would’ve followed you. I’m still
learning to love. Just starting to
crawl. You’re the one that I love”.
Yeah... itulah kalimat yang selalu aku tunggu
darimu. Iya kamu! Kamu yang selalu menggoyak setiap imajinasiku. Kamu yang
selalu hadir di dalam bunga tidurku. Kamu yang selalu punya ruang di hatiku.
Sosokmu yang selalu nyata di mimpiku, tapi tak pernah hadir di duniaku. Sosokmu
yang selalu dapat kurasakan di batinku, tapi tak selalu dapat kusentuh ragamu.
Akankah semua hanya ilusi? Tapi nampaknya kamu yang selalu memaksaku untuk
mengingatmu. Terlena dalam ilusi manjamu. Harusnya aku sadar! bahwa ini hanya
ilusi, yang tak akan jadi nyata. Bagai fatamorgana di gurun pasir. Aku ingin
menghilangkan semua ilusi itu agar aku dapat segera melewatkanmu. Melewatkan
segala kenangan yang ada. Melewatkan segala bayang semumu. Dan aku ingin
melakukan itu semua. Tapi nampaknya magis auramu begitu kuat untuk menggoyakkan
tekadku.
Dua tahun sudah aku telah menantimu. Menanti
kau mengucapkan kata yang bisa mengubah penantianku slama ini. Rasanya semua
terjadi begitu cepat, kita berkenalan lalu tiba-tiba aku merasakan perasaan
yang aneh. Setiap hari rasanya berbeda dan tak lagi sama. Kamu hadir membawa
banyak perubahan dalam hari-hariku. Hitam dan putih menjadi lebih berwarna
ketika sosokmu hadir mengisi ruang-ruang kosong di hatiku. Tak ada percakapan
yang biasa, terasa seakan-akan semua terasa begitu ajaib dan luar biasa.
Entahlah, perasaan ini bertumbuh melebihi batas yang kutahu. Itulah perasaan
dulu yang selalu aku rasakan hingga saat ini, aku masih belum sukses menghapus
jejakmu dalam diriku.
Kamu mungkin belum terlalu paham dengan perasaanku,
karena kamu memang tak pernah sibuk memikirkanku. Berdosakah jika aku sering
kali menjatuhkan air mata untukmu? Aku tak berhak berbicara cinta jika kau
terus tulikan telinga. Aku tak mungkin bisa bicara rindu, jika kau ciptakan
jarak yang semakin jauh. Aku tak bisa apa-apa selain hanya bisa membayangkanmu
dan membawa namamu dalam percakapan panjangku dengan Tuhan.
Sadarkah jemarimu selalu lukai hatiku? Ingatkah
perkataanmu selalu menghancurleburkan mimpi-mipiku? Apakah aku tak pantas
bahagia bersamamu? Terlalu banyak pertanyaan. Aku muak sendiri. Aku mencintaimu
yang belum tentu mencintaiku. Aku mengagumimu yang belum tentu paham dengan
rasa kagumku. Aku bukan siapa-siapa di matamu, dan tak akan pernah menjadi
siapa-siapa. Sebenarnya, aku juga ingin tahu, di manakah kau letakkan hatiku
yang selama ini kuberikan kepadamu. Tapi, kamu pasti enggan menjawabnya dan tak
mau tahu soal rasa penasaranku. Siapakah seseorang yang telah beruntung karena
memiliki hatimu? Apakah mungkin dia? Mungkin memang dia yang selama ini mengisi
ruang kosong hatimu.
Mungkin... semua memang salahku. Yang
menganggap semua berubah sesuai dengan keinginanku. Yang bermimpi bisa menjadikanmu
lebih dari seorang teman ataupun sahabat. Salahkah jika perasaanku bertumbuh
melibihi batas kewajaran? Aku mengaggumimu lebih dari teman ataupun sahabat,
tapi juga sebagai seseorang yang begitu bernilai dalam hidupku. Namun jauh dari
harapku selama ini. Mungkin, memang aku yang terlalu berharap banyak. Akulah
yang tak menyadari posisiku dan tak menyadari letakmu yang sungguh jauh dari
genggaman tangan. Akulah yang bodoh! Akulah yang bersalah! Menjauhlah. Aku
ingin dekat-dekat dengan kesepian saja, di sana lukaku terobati, di sana tak
kutemui orang seperimu.
Dari seseorang yang kehabisan cara
membuktikan rasa cintanya.
Komentar
Posting Komentar